News

Demokrasi Terluka, Bangsa Teralihkan

52
×

Demokrasi Terluka, Bangsa Teralihkan

Share this article
Photo from https://www.zonasatunews.com/
https://www.zonasatunews.com/

Di tengah hiruk-pikuk bangsa ini, kita malah disuguhi tontonan yang, jujur saja, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kesejahteraan rakyat. Drama selebgram, lengkap dengan suaminya yang pesepakbola nasional dan terkenal dengan lemparan dalamnya yang luar biasa itu, tiba-tiba jadi bahan pembicaraan utama. Apakah ini yang benar-benar perlu kita perhatikan saat demokrasi kita sedang dipermainkan?

Sementara rakyat di jalanan meneriakkan keadilan, DPR sedang sibuk dengan permainan politik tingkat tinggi, seolah keputusan Mahkamah Konstitusi hanya sekadar formalitas. Ya, demokrasi kita sepertinya hanya berlaku kalau cocok dengan agenda penguasa. Kalau tidak? Yah, tinggal ubah saja aturannya. Mudah, bukan?

 

Demokrasi: Hanya Teori?

Kita diajarkan di sekolah bahwa demokrasi adalah suara rakyat, tapi sekarang? Demokrasi itu lebih mirip pajangan di etalase—ada, tapi tidak bisa disentuh. Ketika Mahkamah Konstitusi sudah membuat keputusan yang seharusnya dihormati, para anggota parlemen malah seperti anak kecil yang ngambek. Mereka berusaha memutarbalikkan hasilnya agar semua sesuai dengan keinginan mereka. Mau diikat dengan aturan? Gampang, tinggal cari jalan keluar yang menguntungkan.

Oh, rakyat? Mereka hanya penonton dalam teater besar yang dimainkan oleh elit. Apakah mereka peduli? Tentu saja tidak. Demokrasi yang kita pikir ada untuk melindungi, sekarang menjadi alat yang dengan mudah bisa diakali demi menjaga dinasti politik tetap hidup.

 

Rakyat Melawan, Tapi Kepercayaan Tak Semudah Itu Kembali

Putusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas dan aturan usia calon kepala daerah seharusnya menjadi tonggak penting dalam menjaga keadilan demokrasi kita. Namun, rencana DPR untuk menganulir putusan ini seolah menjadi puncak dari permainan kekuasaan yang semakin tidak terkendali. Rakyat mulai muak melihat bagaimana negara dipermainkan demi kepentingan segelintir elit.

Kemarin, Kamis, 22 Agustus 2024, demo besar-besaran terjadi. Rakyat turun ke jalan, menuntut agar keputusan MK dihormati dan demokrasi dikembalikan pada fungsinya sebagai suara rakyat. Dalam tekanan rakyat, DPR akhirnya membatalkan rencana untuk menganulir keputusan MK tersebut. Namun, meskipun kemenangan ini tampak seperti angin segar, rakyat tidak mudah percaya begitu saja. Track record buruk DPR, dengan berbagai keputusan nyeleneh yang dibuat saat rakyat lengah—seperti sidang-sidang penting yang digelar di malam hari dan menghasilkan putusan kontroversial—telah membuat kepercayaan publik tergerus.

Lebih ironis lagi, saat rakyat berjuang dengan segala keterbatasan, kita melihat pejabat pemerintah sibuk dengan hal-hal remeh. Ada yang asyik berjoget di acara seremonial, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Sementara rakyat tetap waspada, elit politik justru merasa puas dengan kemenangan sesaat ini. Ini bukan sekadar ironi—ini adalah pengingat bahwa pengkhianatan terhadap demokrasi bisa datang kapan saja, terutama saat kita lengah.

 

Ikut Berjuang atau Tinggal Diam?

Dulu, saya pikir FOMO terbesar adalah ketinggalan tren selebgram atau gosip panas. Tapi ternyata, FOMO terbesar yang sebenarnya adalah saat kita melewatkan momen untuk melawan ketidakadilan. Saat kita memilih untuk diam, kita secara tidak langsung ikut membiarkan demokrasi dicabut, hak kita diambil, dan suara kita dibungkam.

Bagi yang memilih untuk tetap diam, perlu diingat bahwa saat negara ini jatuh ke tangan oligarki dan dinasti politik, kalian ikut andil dalam kehancuran itu. Rakyat yang diam, adalah rakyat yang memberi ruang bagi kezaliman untuk tumbuh. Tidak ada alasan untuk diam lagi.

Kami Ada. Kami Melawan. FOMO yang Sesungguhnya adalah Perjuangan.