Allamanda (21 tahun) mahasiswa semester 9 asal Universitas Sumatera Utara, saat ini sedang sibuk menyelesaikan skripsi untuk kebutuhan kelulusannya. Mengingat bahwa telah menginjak semester yang cukup tinggi, tekanan muncul dari kedua orang tua yang terus bertanya akan progress Skripsinya. Tentunya hal ini cukup membuatnya merasa cemas. Beban moral yang ditanggung atas kewajiban dari orang tua hingga perasaan malu bahwa teman-teman seangkatan yang terlebih dahulu menyelesaikan skripsi menggelayut di isi kepala Allamanda.
Hal ini membuat Allamanda akhirnya ditengah-tengah proses pengerjaan skripsi memilih ikut konseling lewat aplikasi online. Telah mengikuti beberapa kali konseling membuat allamanda merasa ada ketenangan yang dia dapatkan setelah berkomunikasi dengan orang profesional. Hal ini tentunya mengambarkan bahwa Allamanda sadar bahwa kesehatan mental menjadi hal yang penting untuk dijaga untuk menekan perasaan cemas yang sedang dirasakan.
Kesehatan mental menjadi topik yang selalu hangat untuk dibahas. Apalagi di era internet ini, akses untuk mencari penanganan profesional hingga informasi-informasi terkait kesehatan mental sangat gampang untuk dicari. Website-website khusus hingga konten-konten ringan yang membahas tentang kesehatan mental bersliweran di internet.
Selayaknya allamanda, para anak muda di Medan tentunya semakin sadar terhadap pentingnya kesehatan mental. 85.50% anak muda Medan sudah memikirkan tentang kesehatan mental mereka. Hal ini tentunya menjadi hal yang bagus mengingat beberapa saat lalu kesehatan mental masih menjadi hal yang tabu dan tidak sepenting menjaga kesehatan fisik. Apalagi frekuensi kecemasan dan rasa stress anak muda cukup sering, sebanyak 27.48% cukup sering mengalami kecemasan dan 56.48% kadang-kadang merasa cemas dan stress. Ini menunjukkan bahwa ada beberapa hal yang terkadang dilupakan untuk diobati bagi anak-anak muda Medan.
Allamanda dan 40.46% anak muda Medan merasa bahwa tekanan akademis menjadi penyebab rasa cemas dan stress hinggap di pikiran mereka. Tekanan akan nilai yang sempuran, rasa cemburu melihat teman-teman yang sukses lulus terlebih dahulu, hingga tuntutan keluarga menjadi beberapa penyebab rasa cemas ini tumbuh.
Minimnya bantuan dari institusi pendidikan juga menjadi faktor meningkatnya perasaan stress dan kecemasan yang dirasakan para anak muda Medan. Bahkan 48.09% tidak mengetahui apakah di sekolah/universitas mereka menyediakan pelayanan konsultasi kesehatan mental. Namun, salah satu responden Teguh Eko yang berkuliah di Univesitas Brawijaya menuturkan bahwa universitas tempatnya menempuh pendidikan telah menyediakan layanan konsultasi bagi mahasiswanya. Walau tidak pernah ikut, dia menjelaskan UB telah memiliki website khusus bagi mahasiswanya untuk berkonsultasi perihal kesehatan mental mereka. Mahasiswa tinggal mendaftar dan mendapat tiket kounseling.
Lain halnya dengan Bima Prayoga(15 Tahun) siswa SMK Sultan Iskandar Muda, dia menuturkan bahwa Sekolah tempat dia belajar mempunyai fasilitas konseling yang langsung ditangani oleh profesional. Dia juga menuturkan telah beberapa kali mengikuti konseling dikarenakan rasa cemas dan takut yang tumbuh akibat pergaulan dengan teman sebaya. Dia juga menuturkan bahwa penanganan dengan profesional cukup membantunya dan membuat dia merasa lega. Walau begitu berbeda dengan Allamanda dan Bima yang langsung mencari pertolongan profesional, 69.47% anak muda Medan masih enggan untuk mencari bantuan profesional dalam menghadapi rasa cemas dan stress yang mereka alami.
Walau pembahasan tentang kesehatan mental sudah menjadi hal yang lumrah bagi anak-anak muda, tapi membicarakannya secara gamblang bukan hal yang mudah. Lapisan masyarakat apalagi generasi tua masih menganggap hal ini masalah sepele. Ini tentu membuat 64.89% anak-anak muda Medan masih enggan membicarakan perasaan mereka kepada teman dan keluarga. Ketakutan tidak didengarkan hingga dianggap hal sepele menjadi momok yang menakutkan. Allamanda juga merasakan hal itu, beberapa temannya tidak bisa mengerti dan tidak bisa memberikan solusi yang tepat. Hingga tidak dapatnya menyamakan pemahaman kepada orang tua membuat ia enggan untuk terbuka kepada lingkungan sekitarnya.
Tapi memang seharusnya, kesehatan mental sudah menjadi hal yang harus dijaga selayaknya menjaga kesehatan fisik. Memang lukanya tak tampak secara visual namun memelihara kecemasan dan rasa kalut bakal menjadi bom waktu yang entah kapan dapat meledak. Pelayanan kounseling yang merata, menghapus stigma buruk menjadi langkah yang seharusnya dilakukan. Mendengarkan keluh kesah lebih baik daripada menceritakan memori orang yang sudah berpulang.