Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Pekan Olahraga Nasional (PON) digelar di dua provinsi yang memiliki kekayaan budaya dan sejarah yang unik, yakni Aceh dan Sumatera Utara. Sebagai debut tuan rumah PON, harapan besar disematkan kepada Aceh dan Sumut untuk menyelenggarakan ajang olahraga terbesar di Indonesia ini dengan gemilang. Namun, alih-alih menyajikan perhelatan olahraga yang penuh prestasi, PON kali ini justru dipenuhi dengan berbagai drama yang tak terduga, membuatnya lebih mirip panggung sinetron daripada arena olahraga.
Masalah dimulai dari venue futsal yang bocor saat hujan deras, membuat GOR futsal lebih mirip kolam renang mini daripada tempat pertandingan. Tiket futsal yang diklaim ludes terjual tidak mampu menyelamatkan penonton dari kebocoran atap yang menambah ketidaknyamanan. Ditambah dengan sistem ticketing yang kacau, para penonton seakan disuguhkan tontonan yang tak pernah diharapkan.
Para kontingen menghadapi perjalanan yang penuh petualangan, naik angkot ke lokasi pertandingan. Mungkin ini adalah bagian dari misi sosial untuk mempromosikan transportasi umum, atau mungkin ini adalah upaya untuk menambahkan elemen dramatis pada ajang olahraga ini. Dan, jangan lupakan pertandingan sepakbola yang terpaksa dihentikan selama 45 menit. Ya, satu babak penuh karena masalah teknis. Apakah ini PON atau sekadar hiburan darurat?
Kemunculan pawang hujan, Rara Istiati Wulandari, menambah bumbu dalam drama ini. Dengan harapan mengusir hujan, Rara membawa ritualnya ke Aceh, namun justru memicu kontroversi. Surat resmi dari PJ Gubernur Aceh yang meminta klarifikasi dan permohonan maaf kepada publik menandakan betapa seriusnya masalah ini. PON kali ini tampaknya penuh dengan salah paham dan kegaduhan.
Masalah administratif juga tak kalah meresahkan. Volunteer hanya dibayar 150 ribu per hari, jauh di bawah 300 ribu yang diterima di ajang sebelumnya, PON Papua. Masalah ini diperparah dengan vendor rental yang bermasalah dan situs web PON yang sering ngelag, menambah panjang daftar kekacauan yang ada.
Dari cabang olahraga basket, Perbasi, sebagai induk olahraga tertinggi basket di Indonesia (Ya, tertinggi!), meminta setiap tim melakukan live streaming saat kontingen daerahnya bertanding. Langkah ini mungkin cerdas untuk memastikan dokumentasi, namun juga memperlihatkan betapa parahnya kondisi yang ada. PON Aceh-Sumut ini seolah menjadi ujian bagi ketahanan atlet dan kesabaran penonton terhadap drama administratif yang tiada habisnya.
Di tengah segala kekacauan ini, masih ada harapan jika penyelenggara mau mendengarkan keluhan dan serius menangani masalah. PON ini bisa menjadi momentum positif bagi Aceh dan Sumut jika perbaikan segera dilakukan. Yang pasti, PON XXI Aceh-Sumut 2024 akan dikenang sebagai ajang olahraga dengan drama yang tiada habisnya.